Hany n Nabiel

Friday, August 26, 2005

Have a Good Day !!


Bulan ini belum membayar tagihan cell phone. Kebetulan mau belanja ke Wal Mart, yang tepat di depannya Lincoln Mall dimana aku membayar tagihan tersebut.
“You ejick, pay your bill over the phone,” begitu temanku berkali-kali menasehatiku.
Aku selalu cengar cengir saja, maklumlah aku rela menghabiskan gasoline demi untuk cuci mata di mall, mana tau ada super duper sale hehehehe.

Tapi sebenarnya, kalau boleh jujur, aku menikmati keindahan berantrian di toko selular itu, demi dua kata pengalaman hidup. Ketemu orang yang berbeda, mendapat pengalaman yang berbeda.

Seperti hari ini, aku melewati lower level toko Sears. Seorang cashier, bapak tua, lagi sibuk melayani pelanggannya. Dan seperti biasa aku cuma melewati saja. Langsung ngeloyor ke toko selular langgananku, Alhamdulillah ga pake antri, smooth aja, bayar, langsung cabut keluar toko melalui exit yang sama, Sears lower level.

Pak cashier tua, masih disitu, ketika melewatinya, ada sapaan darinya,
“Have a good day, Ma’am” sapanya ramah sekali.

Seketika aku tertegun, kutolehkan kepalaku,
“Thanks,” balasku, sambil terus terperanjat, karena salam itu begitu hangat, padahal aku tidak belanja di tokonya, tidak meminta bantuannya, bahkan tidak menoleh kepadanya.

Sambil memainkan kunci mobil dan memandangi langit yang indah di summer ini, aku berfikir, bukankah itu sebuah do’a yang indah?
“Have a good day”
Terlepas itu hanya sebagai kebiasaan, atau cuma pemanis kata, atau order dari pihak manajemen toko, hari itu aku bahagia di do’akan seseorang.

Dan aku lupa mendo’akannya kembali, duh, menyesal, walaupun hanya dengan kata,”You too,”

Labels:

Sunday, August 21, 2005

Bridal Shower Kejutan

Tinggal di suatu negara tanpa sanak saudara, menjadikan kita lebih menyadari bahwa bersaudara itu penting. Teman adalah saudara terdekat bagiku. terlalu banyak yang tak bisaku ceritakan mengenai "saudara-saudaraku" ini. dan mereka adalah makhluk-makhluk mulia sepanjang masa hidupku.

Pernikahanku sudah terjadi bulan Juni kemarin di Brooklyn, New York, but karena aku "aslinya" orang Chicago, maka saudara-saudaraku ini ingin supaya ada walimah buatku di Chicago. So, kita tentukan tanggal, kita akan mengadakan resepsi di Reza's Restaurant di downtown Chicago.
So, teman-teman dah di undang, tak ada persiapan apa-apa lagi.

Hari itu, Khamis, 19 Agustus 2005 pukul 04.30 sore, Nunu menelepon ke cell phone," What would you do after work?"
"mmm, i'm gonna stay in library for couple hours."
"get back home as soon you finished." paksanya.
"why?"
"I can't tell on the phone, FBI is watching."

Ya, Allah ada apa neh? Hatiku berdebar-debar ga karuan. Tiga puluh menit menjelang jam 5, adalah saat-saat yang paling menakutkan bagiku, what's wrong sista?

Pulang kerumah dengan hati berdebar, miss called suami pun dah tak tergubris. Sampai di depan rumah, banyak mobil terparkir. Ya Allah, what's going on inside?

Ku coba menelpon kembali, Nunu tak mengangkat telpon sama sekali. What's worng...what's wrong....ku langkahkan kaki, kubuka pintu rumah dan...........

"SURPRISE!!!!!!!!!!!" teriak Nunu, Aunty Tabby, Atiqa, Aminah, Fatimah, Fauzia, Sazia, si kembar Leena & Layla, Abduh, Tariq, Syafi dan adiknya....

"Aunty Vita, congratulation for the reception !!!!!!!!" semua melukin, mengucapkan selamat, alhamdulillah.....

Ooooh ceritanya Bridal Shower kejutan nehhhhhh


Dan acarapun dimuai dengan makan-makan , dilanjtuin dengan game "1 lie 2 truth". Setiap orang diminta untuk memberikan 1 kebohongan dan 2 kebenaran tentang diri masing-masing, then, yang lain pada menebak mana yang "lie". Cute game, semua enjoy dan menawarkan diri untuk "mau lagi-mau lagi" tak terasa, hari beranjak malam, huihhhhh, apa lagi yang ditunggu ...acara buka kado....seruuuuu, soale, hadiahnya semuanya "lingerie" hehehehehe, "3 seconds, easy access"..udah ah ga usah dibahas.

Tapi yang paling penting adalah, kebaikan teman-teman untuk bersimpati atas kebahagiaanku, turut meramaikan perasaan syukur dari Allah..makasih friend, apa yang paling tepat untuk mengungkapkannya aku juga ga tau, yang pasti...Allah Thanks for these wonderful people around me..


"True Love found in the heart of a friend."







Wednesday, August 17, 2005

Ringkasan Good to Great

Ingatkah waktu SD dulu? Ketika Ibu Guru mulai malas mengajar, maka murid-murid di"paksa" untuk meringkas satu judul dari salah satu bab di buku pelajaran. Nah, ini tidak ada sangkut pautnya dengan kemalasan guru, tetapi ini adalah bahan ujian final saya, dalam salah satu kelas manajemen, proses belajarnya memakan waktu satu hari, 4 jam ambil intisari, 2 jam membaca ulang, 1 jam mengetik di Word (modal ingatan), dan 20 menit upload ke blog (tinggal copy paste aja). Bismillahirrahmanirrahimmmm, semoga final nanti dapat diinterpretasikan ke "case problem" yang ditanyakan ......InsyaAllah.



Jim Collins saw inside of the black box of the Good to Great companies, and saw these facts, that Good to Great Companies :

  • Larger-than Life. Most of the CEO’s or (10 from 11 CEO) are coming from inside of the company.
  • No systematic executive compensation.
  • No long range strategic planning.
  • Technology is the accelerator of the ignition of the company transformation, and not the cause of the transformation.
  • Focus on not to do things and stop doing list rather than what to do things.
  • Mergers and acquisition have no role in igniting the transformation.
  • Paid lack attention on managing the change, motivating people and creating alignment .
  • Had no name, tag line, and launch program for their transformation .
  • Were not in great industries, some of them in terrible industry.

Then he designed a flywheel concept which is a process from building up to breaking through that has 3 stages, and each stages has 2 key concepts.

First stages:
Discipline people:

  1. Level 5 leadership
    level 5 executive is built from 5 level of leadership
    level 1 : highly capable individual : employee who can contribute through his
    knowledge, talent, capability and so on
    level 2 : contributing team member : an employee who can work actively with
    others in group setting
    level 3 : competent manager : a manager who can organize people and other
    resources to achieve the goal of the company
    level 4 : effective leader : who can catalyst the vision and make it come true with
    the highest result
    level 5 : level 5 executive : who has a blend of personal humility and professional will. A leader who can see outside the window not to the mirror when the company success , and the leader who can see the mirror not outside the window when it comes to the failure.
  2. First who…then what
    Good to great company put the right people on the bus and bring the wrong people off the bus and then decide where to drive it.
    One of the way is how to become rigorous:
    1. When in doubt, don’t hire- keep looking
    Don’t stuck in one point and don’t give up, try another way to find the right people. A company should limit its growth based on its ability to attract enough of the right people).
    2. When you know you must make a people change, act.
    The right person doesn’t need to be managed or lead or guided.
    3. Put your best people on your best opportunity not your biggest problem.
    If you sell of your problem, don’t sell off your best people.

Level of Management Team

  • Level 5 Leadership
    First who :after seating the right people on the bus,
    then build a superior executive team
    Then what
    Figure out the best path to greatness
  • A Genius with Thousand Helpers
    First what
    Concept the vision, draw a map and develop the rail road
    Then who
    Hiring a thousand of helper to make the vision happen

Second stages:
Discipline thought

  1. Confront the brutal fact
    A Stockdale paradox : maintain your unwavering faith that you can or will prevail in the end, regardless the difficulties and at the same time confront the brutal fact of your current reality, whatever they might be.
  2. The hedgehog concept
    1. What you can be the best in world
    This is about the understanding of what you can be the best in the world and what you cannot be the best in the world, even you don’t have to be the best in the world.
    2. What is your economic engine. Determine your denominator, something that has one greatest impact ( profit /x of y)
    3. What is your deeply passionate about. Do things that we can get passionate about.

Third Stages
Discipline action

  1. Culture of discipline
    1. Rinsing your cottage cheese.
    Maintain or keep upgrading the effort or the greatest thing that already happened, and be more success.
    2. Built a culture not a tyrant.
    3. Fanatic to hedgehog concept
    4. Start stop doing listing

  2. Technology accelerator

    Technology is a tool to accelerate the momentum after hitting the breakthrough and tied up with hedgehog concept, not because of afraid being left or fails behind.

Saturday, August 13, 2005

Arti kemeriahan










Kemeriahan I
Beberapa waktu yang lalu, saya dan teman, pergi ke sebuah kebun binatang di kota Chicago “Lincoln Park Zoo”. Jalur yang kami lewati adalah Dan Ryan express way dan exit di Lake Shore Drive. Melewati Lake Shore Drive disiang menjelang sore di musim panas ini, adalah suatu gambling, karena macet menghadang. Dan benar saja, macet menghadang. Disisi kanan jalan sepanjang Lake Shore Drive membentang Lake Michigan yang indah, sambil jeprat-jepret disana sini, sore itu banyak sekali pengunjung di sekitar pinggiran pantai Lake Michigan, bahkan sampai ke seberang Buckingham fountain, hmmm baru ingat kalo ada acara “Venecian Night” di Navy Pier. Pantes saja. Kemeriahan …..

Kemeriahan II
Harini aku menerima email dari teman, isinya cuma satu kata “MERDEKA”. Teman yang lagi kuliah di Jepang ini rupanya punya semangat nasionalisme juga hehehehehe (kalau kamu membaca, kuakui kau memang sangat nasionalis). Ah, tapi musim perayaan kemerdekaan, melahirkan tontonan segar, ada lomba panjat pinang, makan kerupuk, lomba ini itu deh pokoknya. Hadiahnya mulai duit sampai kerupuk. Pokoknya meriah, ada istilah “murah meriah”. Kemeriahan ......

Kemeriahan…
Yah, tetap saja setiap manusia ingin sesekali meluapkan emosinya., tertawa, berteriak, manusiawilah, tapi kadang-kadang kita hanyut dengan kemeriahan itu sendiri, sesuatu yang pada awalnya secara sadar kita tau bahwa itu tidak lazim atau terlarang, oleh karena dalih kemeriahan itu kita seakan-akan lupa. Wah bicara apa sih ini, tapi ya begitulah, fikirkanlah , apa itu yang kita lupakan…..

Friday, August 12, 2005

Petanya Google



Salah satu hasil dari "peperangan" Yahoo dan Googlee adalah adanya layanan Google Earth yang bisa dibilang begitu fantastis dan membelalakkan mata. Ketika saya mengetik kata "Medan" saya langsung terbang dari Chicago ke Medan. Bayangan melintasi lautan Atlantik untuk sampai ke Chicago begitu "scarry"nya.

But, bedanya dengan teman saya adalah,"Asya, come here, look how far Vita have to fly from her country to Chicago," begitulah, dasar orang Amerika, apa-apa jadi ilmu pengetahuan hehehehe, mau coba? silahkan download dari: http://earth.google.com/

Refleksi


Suatu hari ketika kami berkunjung ke salah satu apartemen teman di bilangan downtown Chicago, aku belajar satu kebaikan yang dapat diajarkan orang tua kepada anaknya.

Teman kami, sebutlah, Nyonya, wanita berumur 29 tahun dengan 6 anak ini benar-benar sosok ibu yang lemah lembut terhadap anak-anaknya yang benar-benar super aktif. Tapi ada satu hal yang membuatku semakin terpesona. Kecintaanya terhadap anaknya dituangkan dengan larangan yang berbentuk religius.

“Kids, we don’t watch magic show….” Begitu larangannya ketika anaknya menggnati channel ke tayangan Sabrina “The Teenage Witch”.

Walaupun ida masih melegalkan anak-anaknya main play station, tapi bukan game yang mengandung kekerasan, Cuma game Shrek atau Barbie.

Ketika suatu saat salah satu anak gadisnya mendekat, sebutlah Anisa, dan memandang wajahku yang berbeda darinya, dia berkata,

“Excuse me, are you Chinese? Do you live in China Town? You know, you can just walk from my apartment to China Town? Aku menggelengkan kepala dan tersenyum. Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba adiknya berteriak,

“She is Mu Lan !!!!” sambil menunjuk-nunjuk kearahku.

Si Kakak bertanya lagi padaku,”Whre is your Mom?”

Kudekati dia, dan kupeluk, “ My Mom passed away few months ago.”

“Oh, don’t be sad, my Mom said, everybody will die someday, and she also told us that everybody is different, like you and me.” Tangannya meraih wajahku dan ditatapnya mataku.

MasyaAllah, anak sekecil ini bisa begitu bijaksananya. Kutatap wajahnya sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih, kupeluk erat dan kukecup keningnya. Wahai teman, alangkah bahagianya dirimu bisa membentuk putrimu sebijaksana itu walaupun masih kecil.

Sementara si adik masih berteriak-teriak, “Mulan, Mulan,”menunjuk ke arahku……

Thursday, August 04, 2005

Tontonan



(sekelumit ingatan tentang drama tipi)

Tiba-tiba aja pikiran kembali ke percakapan dengan salah seorang mbak yang tergila-gila drama korea. Sampai-sampai waktu belanja di Manhattan, bela-belain pulang supaya bisa nonton drama korea itu. Semua pada heiiiirannn, kenapa sehhh…

“Pokoknya, harus pulang segera titik.”

Hehehe…aku juga teringat, begitulah aku dulu waktu tergila-gila dengan Un Soh dan Cun Soh (bener ga ya?) itu yang di Endless Love, wuihhhh kayanya gimanaaaaaaaa gituhhh. Sampai-sampai soundtraknya masih terbayang-bayang (bukan terngiang-ngiang lagi). Mana ceritanya melonkolis abisss.

Di tambah lagi satu serial yang isinya dewasa bangettt. “Winter Sonata”, duhh sampe melayang-layang ke udara sangking serunya. Ditambah lagi ama bae Yong Jin yang cakep dan cool…hoah dunia serasa tak berujung (hehehehe geli juga kalo ingat kita pernah ngefans mah ni orang).

Yang tak bisa dilewatkan tentu saja All about Eve-nya Jang Dong Gun, yang bisa-bisa membuat mata tak bisa terpejam sekedippun. Membayangkan Jang Dong Gun yang cakep itu berpura-pura sebagai orang biasa, ternyata seorang pemilik stasiun tipi-mencintai seorang gadis pintar yang bekerja di stasiun itu sebagai penyiar dan tidak pernah diketahui oleh si gadis kalau dialah yang memilik stasiun itu. Duhhhhh, pingin rasanya terbang ke Seoul saat itu juga.

Masih kenal dengan Won Bin ga? Itu loh yang maen di Endless love juga dan kemudian main dengan artis Jepang yang namanya siapaaaa gitu Fukada apa yah, di serial Friends kerjasama Jepang dan Korea. Itu juga menjadi favorite jaman dahulu saya (hehehehe, sekarang sudah punya favorite sendiri yang sedang nunggu di rumah)

Mengenai fenomenal ini, satu hal yang bisa saya cermati adalah seni budaya orang Korea terasa lebih lembut. Bayangkan saja, remaja Jepang bahkan sangat tergila-gila dengan drama Korea. Entahlah, bagi saya, drama Korea lebih dewasa dalam isi ceritanya, tidak grasa-grusu, ada alur yang indah, ada pesan yang disampaikan, setidaknya ada dua atau tiga pesan moral yang digambarkan. Masih klasik, ada baik pasti ada si buruk, ada bahagia pasti ada nestapa, selalu ada dua kutub yang saling berlawanan.

Sebuah gender yang sebenarnya biasa saja, tapi begitu hidup dan beralur. Biarpun ini digambarkan sebagai kisah cinta, tapi tak ada kesan vulgar dalam penggambarannya. Cinta digambarkan dengan ketenangan, baik saat duka atau bahagia. Tentu saja bukan inti bercintanya itu, tapi bagaimana mereka mengolah suatu hiburan menjadi begitu melekat diingatan pemirsa.

Saya berharap anda masih ingat drama produksi kita yang diangkat dari novel Sengsara Membawa Nikmat? Kala itu Sandy Nayoan dan Desy Ratnasari belum terkenal seperti sekarang. Dua pemain ini begitu memikat hati pemirsa (saya contohnya), yang mana disetiap akhir cerita selalu ada sinopsis dari - kalau ga salah Ratna Sarumpaet- , tentang apa isi novel, siapa pengarangnya, dijaman apa dibuat, budaya apa yang mempengaruhi. Wah, bagi saya itu suatu ilmu pengetahuan untuk perluasan sastra yang palinggggg gampang, nonton, terus ada penjelasannya.

Mungkin masih ingat Datuk Meringgih? Atau Siti Nurbaya? Itu juga menjadi booming saat itu. Him Damsyik dan Novia Kolopaking benar-benar seperti ada di dunia nyata. Sehingga setiap orang yang haus wanita pasti digambarkan tinggi kurus dan pakai tongkat hehehehe, dan bayangan setiap wanita yang dikawin paksa pasti berambut panjang dan memakai kebaya (wah maksa banget perumpamaannya).

Tapi begitulah, daya tarik sebuah tontonan itu, kalau diangkat dari akar kebudaayaan, kehidupan sehari-hari, cermin dari masyarakat sekitar, hampir dapat dipastikan unggul dari yang terkesan serba terpaksa dan instant atau cuma sebuah contekan.

Ah, ya sudahlah, nikmati saja tontonan, asal bisa belajar dari tontonan tersebut, seperti kata Forrest Gump, “My mama always said life was like a box of chocolates. You never know what you're gonna get.”

Downsizing, etik atau tak etik?


Perdebatan atau tepatnya diskusi mengenai “downsizing” atau “rightsizing” sebuah perusahaan, bertumpu pada “ Is downsizing ethical or unethical?”.

Sebenarnya pertanyaan ini mudah untuk dijawab, tapi para student yang rata-rata matang di dunia kerja itu, cukup lama berfikir untuk mengacungkan tangan mereka. Bagi meraka ini bukan pertanyaan mudah, ini menyangkut “bagaimana yah, jika saya diposisi mereka?”Bagaikan makan buah simalakama kata para datuk dulu.

Ada Brian yang seumuran denganku, yang tentu saja belum matang dalam dunia kerja bekerja. Katanya , “I am kind of fall in between.” Tergantung bagaimana kita memandang downsizing itu, begitu katanya.

Ah, aku juga ga mau kalah, sepengamatanku, yang kata temen-temenku ini lebih cenderung menjawab permasalahan dengan kacamata manusia dan Tuhan, maka dengan penuh keyakinan inilah jawabannya.

Downsizing could be ethical or unethical. Depends on the intention or the aims of the company when downsize the employee. Lay off, it could be better if we call it early retirement, which is much more ethical, since the word “retirement” seems have a positive sense in terms of the employees’ future.

Downsizing is unethical when the purpose is merely for the shake of CEO. It is ridiculous when the company cut off the life of some employees, but in the next short run, the CEO gains more bonuses. It could be worst if the company still has bad performance as the aims of downsizing is to enhance the company performance.

Downsizing is ethical, as long as it keeps on the right track, to save the company from bankruptcy. If the company sincerely applies the utilitarianism in laying-off the employees, downsizing remains ethical. Utilitarianism is based on the laying-off 500 employees to save 5000 employees. Downsizing still consider ethical since using criteria to dismiss the employees.

Furthermore, Jim Collins in his book, Good to Great, stated that put the right people on the right bus. So, downsizing is one of many ways to eliminate the wrong people in the right bus or the bad people in the good bus.

Right fella?

Wednesday, August 03, 2005

Aceh dan Kenangan Masa Kecilku


Buat Ibuku

Tsunami menyapu Aceh. Semua negara ikut berduka, semua orang ikut berbela sungkawa. Tiap bertemu denganku semua teman-temanku menyatakan keprihatinannya semua ikut khawatir dengan keadaanku, maklumlah semua tahu aku baru saja kehilangan ibu dan yang pasti mereka tahu aku dari Indonesia, walaupun mereka tidak tahu dari bagian dan belahan mana.

Petaka tsunami menghiasi hampir seluruh televisi di negara ini, tak urung Oprah Show juga menampilkan korban yang selamat di pertunjukannya. Tak selayaknya aku senang dengan keadaan ini, Aceh adalah duka bangsa, dukaku juga, karena masa kecilku lebih banyak kuhabiskan di tanah rencong ini.

Ketika umurku 4-5 tahun, aku, adikku, abangku dan ibu bapakku pernah menetap di situ.

Aku ingat pohon jeruk bali yang ada di sebelah lumbung padi di depan rumah panggung Nek Putih, demikian aku menyebut tetangga rumah kami, wanita tua dengan satu orang cucu laki-lakinya si Amin yang seumuran dengan abangku.

Pohon jeruk bali itu adalah tempat “pelarian“ku jika disuruh mandi oleh ibu. Sembari berlari dengan celana kodok dan dalam keadan “topless“, aku menuju kepohon tersebut dan memanjatnya. Di atas pohon dengan perasaan menang dari kejaran ibu, aku tertawa dengan senang menampakkan sederetan gigiku yang ompong memandang ibu yang mengacung-acungkan sapu pelepah nipah ke arahku. Beliau tampak kesal sekali karena tidak bisa menjangkauku.

Peristiwa itu tidak pernah kulupakan karena kerap kali terjadi, sampai-sampai Bapakku yang senang fotographi menjepretkan kameranya ke arahku katanya,

“Biar kamu tidak bisa mengelak kalau nanti Bapak cerita tentang kebiasaanmu manjat pohon dengan celana kodok dan topless kelak kamu besar.“

Dan benar, kenangan itu rapi tersimpan di benakku dan di album foto keluarga, fotoku dengan keadaan topless, celana kodokan, seringai gigi ompong, nangkring dengan bangga di atas pohon jeruk bali.

Rumah kami, tepatnya rumah Nek Ipah yang diperbaiki Bapak (Bapak lebih memilih tinggal di rumah dengan menyewa rumah penduduk, walaupun harus berbagi ruang dengan Nek Ipah dan Kak Ipah, daripada harus tinggal di Mess, kata Bapak tidak sehat bagi keluarga), samping kanan kirinya adalah pekuburan keluarga Nya’ Raden (aku tidak tahu kenapa keluarga ini dipanggil seperti itu), teduh sekali dengan pohon langsat dan buah pala serta semak-semak tanaman pakis. Dibelakang dan depan adalah tanah kosong berumput, kadang-kadang ada orang yang menggembalakan kerbaunya di belakang rumah kami, kerbau Aceh kata Bapak, kebanyakan orang Aceh tidak suka makan lembu itu kata Ibu. Minuman yang selalu dihidangkan setiap Idul Fitri adalah susu lembu, so kalau bertamu di rumah orang Aceh , sedikit-sedikit aja makannya, karena suguhan minumannya pasti susu lembu.

Tiap hari, aku selalu bermain dengan teman-teman sebayaku, anak-anak tetanggaku. Aku masih ingat jalan yang harus kuambil untuk main kerumah temanku, jalan itu akan penuh dengan buah pace yang membusuk, kerap aku harus berhati-hati untuk tidak menginjak buah pace yang tercecer dari pohonnya tersebut, juga untuk tidak menginjak tanah becek kalau hujan datang.

Aku sangat menikmati hari-hari bermainku, sampai-sampai harus main petak umpet dengan ibu sewaktu harus tidur siang. Aku akan pura-pura tidur siang, kulirik ibu dan adikku dan juga juga abangku, kalau mereka sudah terlelap maka dengan mengendap-endap aku ke dapur mengambil nasi dan lauk untuk di bawa ke acara “lunch“ bareng dengan teman-temanku. Tak urung Nek Ipah dan Kak Ipah memergokiku.

“Eh, tak tidur“, akupun cuma tersenyum dan berlari dengan mangkuk ditangan.

Jika acara kongkow sudah selesai, maka aku taruh saja mangkuk nasiku di samping lumbung padi di depan rumah Nek Putih, si Amin cuma memandangiku dari bawah panggung rumahnya, sambil memperbaiki pancing.

Kegiatanku dengan teman-teman adalah pergi ke kolam. Sepertinya hampir semua rumah besar atau orang kaya di Aceh mempunyai kolam untuk mandi. Aduh betapa menyenangkan bermain air dan kadang-kadang kami temukan juga udang di sela-sela bebatuan namun tak jarang lintah sudah menempel ditubuh kami. Tidak semua orang membolehkan kami untuk berenang di kolamnya. Yah, untung-untunganlah.

Kalau tidak, kami akan bermain di sekitar pohon salak Aceh, itu yang kuingat namanya, buahnya bulat dan kalau dikupas isinya seperti salak, mungkin itu buah nipah, tapi ingatan masa kecilku mengatakan itu salak Aceh. Yang lebih asyik kalau ada pesta, Ibuku pasti ikut membantu, aku paling suka ikut Ibu, soalnya kalau mereka lagi membuat kue sapit, yang gosong-gosong akan di bagikan ke anak-anak, wuihhh enak.

Acara menumbuk padi juga paling asyik, karena bukan hanya memakai alu biasa tapi juga memakai alu horizontal dari batang yang besar yang dihubungkan dengan pengait atau apalah aku tak ingat, yang bisa kunaiki sambil menumbuk padi. Jadi seperti main kuda-kudaan tapi ini lebih asyik, karena ada hasilnya, yaitu padinya jadi beras.

Bapak juga hobi berekreasi. Bersama teman-teman sekoleganya, beliau membawa seluruh keluarga ketempat-tempat rekreasi. Aku paling suka ke laut. Soalnya bisa main pasir dan cari kepiting kecil. Lucu sekali kepiting-kepiting itu lari kesana kemari mencoba menyelamatkan diri dari tangan-tangan jahil kami kearah lubang-lubang persembunyiannya. Jepretan kamera Bapak sungguh membuat masa kecilku di Aceh sangat membekas.

Tiap sore, dengan baju yang kembaran dengan adikku, kami menunggu Bapak pulang kantor sambil jalan di batu-batu yang mengonggok untuk pelaksanaan proyek jalan. Kata Bapak, kantor Bapak lagi punya proyek membangun jalan di Aceh.

Kalau aku begitu nakalnya, maka abang dan adikku adalah anak-anak penurut. Pernah, satu kali abangku pulang dengan lesu dari sekolahnya, ketika itu dia kelas satu.

“Abang kenapa?” Ibu dengan khawatir bertanya.
“Abang ga apa-apa, cuma ini nih, abang ponten sepuluh lagi,” katanya dengan lesu.

Seketika wajah ibu berubah, besok-besoknya abang sudah tidak tinggal bersama kami lagi, dia dikembalikan ke Medan, tinggal bersama Kakak dan Abang-abangku yang lain.
Baru aku tahu bahwa , abangku selalu unggul di kelas, dan kata Ibu itu bukanlah pertanda baik, karena Ibu takut persaingan memang tidak ada di kelasnya abang. Benar saja, prestasi abang biasa-biasa saja ketika kembali ke kota asal kami.

Dedek kecil adikku maunya selalu mengikutiku, tapi Ibu tidak pernah mengijinkan, maklumlah dia baru 2-3 tahun. Permainanku yang lasak, mbulusuk kesana kemari, manjat pohon ini itu, sudah cukup membuat ibu was-was untuk melepaskan si bungsu bermain bersamaku. Jadinya dia cuma main sendiri di bawah pohon mangga, atau di dalam rumah-rumahan yang dibuat Bapak untuk kami bermain.

Pernah suatu hari, Bapak pulang dengan becak-becakan buat kami berdua, aku beradu amarah dengan Ibu supaya bisa bermain di luar. Ibu bilang tidak, karena becak-becakan itu baru dan nanti rumah kotor. Jadilah aku seharian ngambek tidak mau makan dan duduk diluar sambil manyun menunggu Bapak pulang, sementara Dedek kecil mendayung becak-becakan itu sendiri, kyut, kyut, kyut kesana kemari.

Ah, kenangan Aceh dan Ibuku di memori masa kecilku membuatku tersentak, aku sangat sedih kehilangan dua hal tersebut. Dua hal yang menghiasi masa kecilku hingga sekarang. Aku memang sudah kehilangan Ibu, dan aku tak akan sanggup kehilangan Aceh, sebab, Aceh adalah bagian hidupku.

In Memoriam,
Ibu dan Aceh
January 18, 2005

Labels:

Salju turun di Brittany Woods



Pakai penutup kepala jaketmu, hari ini salju turun lebat, katanya sih 10 inchi.
“Ah,” tampikku ga percaya, aku malas sih memakai penutup kepala di jaketku , terlalu berat nanti untuk kesana kemari.

“He, he, he, kamu ga percaya yah kalo salju turun lebat hari ini, lihat nih,” tangan gadis Tunisia ini menarik vertical blind.

“Weleh, bener juga,” segera tanganku dengan sigap melekatkan penutup kepala ke jaketku.

Aku sudah membayangkan, salju pasti menutupi mobilku…maksudku mobil temanku yang dipinjamkan ke aku…pinjam…maksudku yang diberikan gratis kepadaku…gratis…well…that’s the truth, free of charge.

Dengan agak terseok-seok aku turun melalui tangga, lebih cepat, daripada harus pake lift. Hari terakhir liburan di rumah temanku, hari ini aku akan kembali ke rumahku…rumahku?…ah bukan, rumah bibiku…bibi dari mana ? …mmm bibi dari rasa ingin membantu mahasiswa miskin macam aku. Aku tersenyum sendiri, ternyata orang baik itu ada dimana-dimana, yah dimana-mana….dan kebaikan itu turun dengan lebat seperti salju diluar sana.

Benar saja, salju menutupi mobilku…wah harus kerja keras nih… kulihat dua orang bapak berkulit hitam sedang mengutak atik mobil,

“Hey, How you do in’?” sapa salah seorang bapak….biasa tipikal American greeting, kenal ga kenal, pasti ngasih salam, plus senyum lagi.

“I am doing good,” sapaku ga kalah ramah, khas Indonesia, ingat kata temanku …Indonesia banget yah..hehehehe.

“Hey, hati-hati,” ucapnya sambil tersenyum… “Excuse me?” maklumlah deru salju yang turun plus penutup kepala membuat suara yang datang ke kupingku tak lagi jelas.

“I said, be careful,” ulangnya ramah…

“Thank you, Sir,” hidungku kembang kempis…duh senengnya ada yang merhatiin hehehehe.

Segera kunyalakan mesin mobil, dan dengan sigap kuraih sapu pembersih salju dari jok belakang…duh… ternyata hidup di negara bermusim salju ini ribet deh….

Kuperhatikan kaca mobilku, depan belakang, dan samping kanan sudah tertutupi es, bukan salju lagi, malas banget ah…kan keras …mana dingin lagi…mana lupa pake sarung tangan lagi…akhirnya kuputuskan untuk duduk saja didalam mobil sambil menunggu es mencair kena udara panas dari heater.

Kuputar musik dari kaset yang kubeli di toko resale kemarin, lumayan banget 50 sen untuk sebuah Richard Clyderman, fuihhhhhh…aku merasa beruntung banget…hehehehe dasar wong Indonesia…

Phantom of the Opera mendayu-dayu lembut dari piano yang dipencet bang Richard…sembari memperhatikan salju yang jatuh tak henti-hentinya dari kaca mobil, alamakkkk aku merasa bak duduk di salah satu balkoni termahal di sebuah art of performing center di windy city ini. Subhanallah, betapa indahnya ternyata dunia ini…

Kruk, kruk, kruk….imaginasiku terkejut, kutolehkan kepalaku kearah suara….Oh Allah, salah seorang bapak berkulit hitam, sedang membersihkan es di sisi kanan kaca mobilku, dengan giat dia menggerus-gerus mencoba untuk membersihkan es bandel yang melekat, aku ternganga, wah mau apa dia….otakku pun berkelebat dengan kata-kata “be careful” dan cerita teman-teman tentang penodongan seorang mahasiswa di daerah apartemen tersebut beberapa hari yang lalu….

Ya Allah, gimana nih…cepat-cepat ku lock pintu mobilku….but…dengan senyum dia terus menggaruk-garuk es di kaca depan mobilku….mmmm, tak perlu ragu lagi! Dengan sigap kubuang pikiran negatif di kepalaku, aku tau dia tulus ingin menolongku membersihkan mobilku, karena kulihat mobilnya yang beberapa spot dari aku sudah bersih.

Kubuka pintu mobil, dengan setengah berteriak kubilang terima kasih padanya, tak dinyana es dan salju berbutan masuk kemulutku yang terbuka, dengan cepat dia bilang,
“That’s OK, go inside your car,” sembari tangannya terus menggerus-gerus es di di kaca depan mobilku.

Aku masuk kedalam mobil, kali ini tidak ku lock, kuperhatikan dia membersihkan kaca samping kiriku walaupun tidak tertutup es, dan dengan cepat di pindah kebagian belakang kaca mobilku…tangannya pun sibuk menggerus-gerus es…kruk..kruk..kruk…

Seketika hatikupun ikut tergerus…Allah, beberapa menit yang lalu hatiku diliputi suudzhon …ternyata dia hanya ingin menolongku…gadis yang mungkin disangkanya tak akan sanggup berada lama-lama diluar walaupun hanya untuk menggerus es di kaca mobilnya…Oh Allah, maafkan hambaMu ini…

Richard Clyderman sekarang sedang memainkan “Yesterday”. Si Bapak telah selesai “menunaikan tugas kebaikannya” , dia tersenyum kapadaku, dia berlari ke mobilnya, kulambaikan tangan dan ku pencet klaksonku sambil menjalanku mobil….

Apa yang harus kukatakan sekarang ??????? Ternyata orang baik ada dimana-mana…dan kebaikan itu turun dengan lebat seperti salju di luar sana…

Yesterday, all my troubles seemed so far awayNow it looks as though they're here to stayOh, I believe in yesterday.Suddenly, I'm not half the man i used to be,There's a shadow hanging over me.Oh, yesterday came suddenly……

Catatan kecil untuk diri sendiri…

January 5, 2005

Labels:

Mimpimu adalah Pilihan (juga)


Langkah kakiku bergegas menuju ruang kelas di penghujung sore itu. Di depan ACS Lab, lab komputer, langkah bergegas ini terhenti sejenak, kupalingkan kepala ke kanan, dua orang anak lelaki dan seorang wanita setengah baya duduk di patio tepat di samping lab itu. Tanpa bermaksud mau tau, aku melirik dengan cepat apa yang ada di atas meja, oh ternyata si "boy" kecil behampiran dengan sebuah kotak besar dan astaga, di kotak besar itu tertulis, "FUND RAISER, EVERYTHING FOR 1 DOLLAR, FOR MY EDUCATION".
Entah perasaan apa yang berkecamuk dihatiku saat itu, kasian ahh bukan, prihatin ahh apa bedanya, aneh ah tak lah, jadi apa dong? Aku paksakan kakiku untuk melangkah dan melewati mereka. Kejam, kataku dalam hati.
Di ruang kelas, konsentrasiku terpecah belah, sang professor mengoceh jenaka tentang kenakalannya ketika sekolah. Dia bilang dia lemah dalam bidang ilmu kimia, tapi dia suka datang ke kelas kimia tersebut tanpa rasa malas sedikitpun.
"tau gak kenapa, brur," "karena gurunya damned pretty."
Meledaklah tawa 25 mahasiswa S2 di kelas SDM malam itu. Sebab konon dulu si professor datang ke kelas hanya untuk duduk di depan, senyam senyum mengikuti gerak langkah si guru yang damned pretty itu di dalam kelas.
"dan aku dapat nilai D"
kelas pun terbaur dalam gelak tawa lagi.
Dinginnya udara di musim salju membuat suasana hatiku pun menjadi melodrama. Ah tak hanya di Indonesia ada kesusahan dan kenakalan di sekolah tapi di sini juga ada. Maaf, jangan menjawab pembaca. Perlu ditambahkan aku gak penah mengalami "cultural shock" kok.
Seketika aku teringat Koran kompas tertanggal 24 Agustus 2003, Tak Mampu Bayar Biaya Kegiatan Ekstrakurikuler Seorang Siswa SD Gantung Diri.
Haryanto, nama anak itu, tanpa meninggalkan sepucuk surat ataupun memo memilih untuk mengakhiri dirinya yang menurut spekulasi adalah karena merasa malu ditagih biaya kegiatan ekstrakurikuler yang cuma sebesar Rp 2500.
Ah, Haryanto, kisahmu menginspirasi orang untuk menulis ya hanya menulis tentang kepedihan betapa susahnya bersekolah di indonesia. Seolah-olah pendidikan hanya untuk orang-orang berduit saja. Dan para penulis yang merasa berada di "posisi"mu pun ramai-ramai menuding sini dan situ. Dan penulis yang merasa ada ditengah-tengah antara dirimu dan pihak yang dituding-tuding memilih untuk berandai-andai.
Pikiranku kembali lagi ke si "boy" dan "keluarganya". Si boy duduk di meja dan menjual aneka makanan ringan yang bisa dibeli di vendor machine di seluruh kampus dengan harga patokan "sedolar untuk semua produk" yang tentu saja lebih mahal. Tapi si boy punya cara untuk tidak menyerah mencari uang untuk pendidikannya. Yang wawlahu'alam bissawab benar atau tidak. Tapi cara berjualan di kampus itu yang membuatku berandai-andai, ahh andai si Haryanto punya pikiran untuk jualan di kampus ITB, Unpad atau di IPB, dengan tulisan, "AKANG DAN TETEH, BELI DONG BUAT BANTU BAYAR BIAYA EKSTRAKURIKULER, CUMA 5OOO AJA UNTUK SEMUA ITEMS". Dijamin, mahasiswa Indonesia yang terkenal sampai ke luar negri karena kegigihannya menentang rezim dan kegigihannya berdemonstrasi pasti tak akan segan-segan mengeluarkan uang 5000 perak dari koceknya.

Renunganku berlanjut, aneh ya kenapa ada tersambung 2.
Pasalnya sang sekretaris supervisorku mewanti-wanti agar hadir lebih pagi hari ini. Karena di Center of Performing Arts katanya ada acara memperingati ulang tahunnya Dr. Martin Luther King, Jr. Setengah tergopoh-gopoh aku berjalan memasuki ruangan pagelaran itu. Selintas aku melihat deretan pria dan wanita berseragam, setelah aku duduk dan memperhatikan lebih tajam, alamak itu mah anak-anak SMP dan SMA-nya Amerika yang berseragam ala militer dan oooo di dalam ruangan ternyata isinya melulu anak sekolahan. Masih penuh tanda tanya aku ikuti acara itu.
Aku baca selebaran yang ada ditanganku "Honoring The Life of Dr. Martin Luther King, Jr. THE DREAM IS THE VISION, Celebrated in Music, Dance and the Spoken Word."
Acaranya terkesan sederhana sepertinya. Seperti biasa ada opening remarks, ada acara welcome tapi bentar dulu apa nih, ada pertunjukan dari anak-anak sekolah ini, ada Lamba - Dance of Life and Dance of Transition, ada Donba - Dance of Celebration.
Ada pertunjukan mmm macam tebe-tebe nya tentara Indonesia, tapi ini tanpa musik dan manis sekali ditampilkan oleh anak-anak dari Carver Military Academy. Dari mulai yang kurus, tinggi dan berpostur tentara sampai yang gendut, pendek dan "Chubby" ada di team tertampil tersebut. Wah gak pandang bulu, coba kalo di Indonesia, mesti yang tinggi, putih, postur tentara, calon paskibraka atau setidak-tidaknya ada di jejeran top ten nya ganteng dan cantik. Ahhh... Stop pembaca, jangan komentar. Harmonisasi bukan dinilai dari postur bagi mereka, tapi dari kemamuan dan kemampuan, yang belakangan bisa diasah tohhhhh (hehehe ingat filim Police Academy gak).
Acara bergulir ke "What You Have to Do to Make the Dream Come True". Si penceramah ini dengan gaya "rapper" kulit hitam memulai step-nya. Dan semua penonton di beri kertas dan pensil untuk menulis langkah-langkah yang akan dibeberkannya.
"Untuk membuat impianmu tercapai," katanya berulang-ulang,
"Satu, Percaya kepada diri sendiri,"
"Boleh percaya kepada orang tua, temen, guru dan lain-lain, tapi yang utama adalah percaya kepada diri sendiri, I CAN DO IT,"
Penonton pun bersorak ,"AHAAK AHAAK AHAAK," dan bertepuk tangan.
"Kedua, Kamu harus tau apa yang kamu mau"
Gaplokan tangan dan teriakan yes pun membahana.
"Langkah ketiga, Persiapkan diri untuk mencapai cita-citamu,"
"Keempat, Pengorbanan,"
Tawa riuh rendah dari penonton ketika kata ini diucapkan, soalnya pengorbananya cuma sederhana, JANGAN BANYAK NONTON TIVI. Hehehe, aku tertawa geli teringat ads di tivi tentang menu parenthal control yang ada di tivi kabel. Akh, proteksi supaya jangan banyak atau tidak nonton tivi, nyata adanya di sini. Pembaca, tanggapi saya dari forum.
"Pay the cost if u wanna be a boss" teriak si penceramah.
"Kelima, gunakan kekuatanmu yang paling super," maksud si penceramah sih, kalau kamu kuat kamu bisa memilah-milih teman bermain. Gak perlu takut bilang tidak jika si bandel "Getto" ngajak macam-macam.
"Keenam, anak-anak sekalian kalau boleh, jangan berpikir untuk jadi parent dulu." Wah Amerika memang besar angka pernikahan dininya. Bayangkan usia seumur penulis, rata-rata mereka dah punya anak umur sepuluh tahun jekkk.
"Ketujuh, usahakan agar tetap hidup, jangan ngedrugs, plan your future not your funeral, kamu punya pilihan untuk hidup atau drugs, Elvis Presley punya pilihan untuk hidup atau drugs, tapi dia milih drugs, karena drugs dan kematian adalah pasangan sejiwa."
Ruangan tenang sejenak, ucapan sang penceramah benar-benar menikam kalbuku. Ah terbayang lagi ads di tivi. Benar kok, iklan rokok hampir tak ada di tivi kabel di negara bagian ini, yang banyak malah iklan, bagaimana keluar dari ketergantungan merokok.
"Nah, kedelapan, selalu gunakan apa-apa yang terbaik dari dirimu, jangan takut dibilang nerd, mana tau dia yang manggil kamu nerd akhir hidupnya cuma jadi clerk, jadilah dirimu yang terbaik menurutmu."
"Jangan pernah merasa puas, nah itu langkah yang kesembilan, terus berupaya, gapai cita-citamu,"
"Dan yang paling penting, jangan pernah menyerah,"
Tepukan dan teriakan ahak ahak mengakhiri ceramah tersebut, sungguh powerful, ahh kalau di Indonesia ada satu saja kepala sekolah atau jangan deh, guru yang semangatnya membara begitu, mungkin murid-murid Indonesia akan lebih pintar lagi ya atau akan lebih punya visi kedepan yah, jadi bukan hanya cita-cita jadi dokter tapi cita-cita untuk jadi "orang", walah ini jawabnnya pasti "emang selama ini monyet?"
Acara masih bergulir dengan ritmenya yang teratur, seorang pemuda gendut (tipikal orang amerika), menyentuhkan jari-jarinya di tuts piano, "I Believe I Can Fly" nya R-Kelly mengalun dengan lembut, anak-anak ABG tersebut bersahut-sahutan mengikuti syair-syairnya.
Si pemuda kemudian bergeser ke tangah pentas dan dengan gaya akapela menyanyikan lagu Happy Birthday, Dr. King-nya Stevie Wonder. Semua penonton berdiri dan bernyanyi bersama-sama, sambil bergaplokan tangan bergoyang kesana kemari seirama. Begitu menggembirakan, sampai-sampai sang sekretaris supervisor disebelahku berbisik,
"Eh, kayaknya si janitor ini perlu di dorong untuk masuk dapur rekaman loh."
Hahhhhhh, walah si pemuda gendut bersuara better than R-Kelly itu ternyata cuma petugas kebersihan di kampus, walamakkkkkkkkkkkkkkkk.
Benar-benar lagu si R-Kelly itu menginspirasi.....
I believe I can flyI believe I can touch the skyI think about it every night and daySpread my wings and fly awayI believe I can soarI see me running through that open doorI believe I can flyI believe I can flyOh, I believe I can fly
Balik lagi ke mendiang Haryanto, ahhhh aku tak punya komentar apa-apa. Ingatan-ingatan kelabuku menelusuri memori, bahwa pernah suatu malam aku melihat prasasti si Martin Luther King di depan Monumen Washington........ I HAVE A DREAM........, sungguh aku tak tergila-gila, tapi mimpi adalah salah satu pilihan.

Labels:

Suatu Sore di Harvest Lane


Seperti biasa, sore kawanku bercerita tentang mimpinya. "Aku mimpi my sister's leg is broken."
"Oldest or youngest" tanyaku sambil menuang teh dari coffeemaker.
"Yang paling kecil, padahal dia harus memetik kapas, sebelum musim dingin tiba, kami punya picking cotton season." Jawabnya.
Apa? Aku mencoba untuk lebih berkonsentrasi lagi. Aku terhenyak mendengarnya. Dengan mulut ternganga sekali lagi aku meyakinkan diriku. Tidak salah dengar nih picking cotton season.
"Maksudnya?" Tanyaku meyakinkan.
"Jadi, mulai bulan Oktober ini semua murid sekolah dan mahasiswa di negaraku akan ke ladang kapas untuk memanen kapas," Dia menatapku lagi dengan mungkin sedikit penyesalan memberitahu sesuatu yang seharusnya disimpannya sendiri, "Dan mereka selama tiga bulan tidak sekolah, pergi ke ladang kapas hanya untuk memanen kapas. Ini obligatory."
Aku mendekati zona amannya.
"Ya, benar. Setiap hari setiap orang harus mengumpulkan kapas sebanyak 15 kilogram. Setiap orang akan memanggul apron (karung dari kain) di punggungnya dan memulai semua aktivitas dari pagi sampai sore." lanjutnya karena sudah terlajur bercerita."Dan bagaimana dengan hasilnya, semua diberikan pemerintah?" tanyaku dengan sedikit tertawa pedih, membayangkan dijaman seperti ini masih ada yang bekerja seperti jaman Jepang di Indonesia.
Dia menatapku, "you know, kapas adalah komoditi utama negara kami, dan kami punya ladang kapas yang luas diseluruh negri, Dan pemerintah membutuhkan kami untuk memanennya," tampak sekali dia melawan perasaan hatinya untuk tidak merasa sedih.
Aku melunakkan kata-kataku, "Aku sungguh-sungguh tertarik dengan ceritamu, kau suka dengan keadaan itu?" tanyaku.
"Tentu saja tidak. It's awful. Anak-anak tidak sekolah dan tidak belajar sama sekali, itu kan pembodohan," sergahnya, "Kamu tahu, kalau kami tidak mencapai target 15 kilogram perhari, itu berarti we are in debt, dan orang tua kami harus membayarnya kalau kami tidak bisa."
Tangannya lincah memotong kentang.
"What?" Aku hampir memuntahkan teh dimulutku. Sekali lagi aku terpana. Negara macam apa itu. Tapi kemudian aku sadar, aku tak tahu apa-apa tentang negara mereka.
"Kemudian hasilnya dikemanakan?" aku mendesaknya kembali.
"Untuk makan kami selama di ladang kapas," Jawabnya.
"That is ridiculous," Aku gak percaya kata-kata itu keluar dari mulutku, "kamu ngumpulin kapas sebanyak 15 kilogram sehari dan hasilnya hanya untuk makan? Aku gak percaya."
Kuletakkan cangkir tehku.
Dia tampak tak mau menjawab, dibersihkannya pisau dan mulai memotong wortel. Penyesalan diwajahnya makin kelihatan karena sudah memberitahuku pekerjaan itu dan bahwa 15 kilogram kapas sama dengan 15 dollar Amerika.
Aku mencoba tidak mendebatnya. "Bagaimana dengan akomodasi kalian selama di ladang?" tanganku memutar-mutar cangkir di tanganku.
Dia memutar badanya menatapku sambil tersenyum. "You know, it was fun for me," katanya.
Aku juga ikut tersenyum miris. "Tell me, apakah semua murid dan semua orang akan ke ladang untuk memanen?" Aku makin penasaran.
"Ibuku juga masih ikut ke ladang kapas. Petani kapas gak akan mampu memanen semuanya sendiri" jawabnya sambil mulai memotong bawang kecil-kecil.Dan kembali menekuni sayur-sayuran di depannya, dia bergumam "Jika saja ibuku punya uang 18 dollar Amerika (dia selalu membandingkan dengan dollar), tentu saja aku gak perlu ikut. Sebab dengan uang sebanyak itu, aku bisa ke dokter dan membeli sertifikat tentang kesehatan tubuhku, alergi lah atau tidak mungkin untuk bekerja di ladang kapas."
"Oh," hanya itu yang terucap dari mulutku.
"Dan jika kamu tinggal di ibu kota, tentu saja kamu gak akan pergi ke ladang kapas untuk memanen. Oleh sebab itu murid-murid di ibu kota lebih pintar." terangnya lagi. Diambilnya kol dari kulkas. "Kami harus berjalan memetik kapas, kadang-kadang jaraknya jauh tapi kadang-kadang ada bus juga yang mengantar kami kesana dari tempat kami menginap, kalo menjelang musim dingin, cuaca juga dingin. Kalau makan siang tiba, nanti ada traktor yang datang dengan beberapa orang siswa membawa makanan, ya sederhana aja dan soup, roti dan falv (nasi)." Sekali lagi dia tersenyum, "kami makan di bawah pohon beramai-ramai dan bercanda sana sini. Habis makan siapa sih yang mau kerja kembali? Kadang-kadang beberapa murid akan berbaring diantara pohon-pohon kapas dan bersembunyi dari guru yang mengawasi supaya tidak di hukum." Dia tersenyum dengan kenangannya."Kamu kan guru sekarang, kalau ada muridmu seperti itu apa reaksimu?" Aku menuang teh ke cangkirku lagi.
"Well, aku guru yang tak mau menghukum, aku cuma bilang, kamu punya target setiap hari, jangan sampai kau punya hutang dan orang tuamu terbebani," jawabnya ringan namun bersungguh-sungguh.
Kutatap dia dengan gembira.
"Sejak kapan kewajiban ini kamu jalani? Sejak pisah dari USSR?" tanyaku sambil menyalakan lampu. "Long time ago, bahkan sebelum pisah dan jadi negara merdeka." jawabnya sambil mengambil vessel. Dia tertawa lagi dengan sangat gembira. Aku tertawa kecut. Kemudian dia kembali menekuni bahan-bahan sup di depannya."You know, Aku pikir aku sedang mengkhianati negaraku," tiba-tiba kesedihan dan penyesalan kembali menyergap kawanku itu. Dan dia tak tahu betapa menyesalnya karena telah menyiapkan iklan tentang negaraku dengan gambaran yang jelek sekali padahal aku tak harus memetik kapas dan meninggalkan sekolah selama tiga bulan hanya untuk menyokong perekonomian negara. Maaf Pak Taufik Ismail, mungkin untuk hal ini puisimu yang soal jati diri itu judulnya kuganti, "Aku syukur lahir dan besar di Indonesia."

Labels:

Sakinah Mawaddah Wa rahmah, Marjo's family
Daisypath Ticker