Hany n Nabiel

Wednesday, August 03, 2005

Suatu Sore di Harvest Lane


Seperti biasa, sore kawanku bercerita tentang mimpinya. "Aku mimpi my sister's leg is broken."
"Oldest or youngest" tanyaku sambil menuang teh dari coffeemaker.
"Yang paling kecil, padahal dia harus memetik kapas, sebelum musim dingin tiba, kami punya picking cotton season." Jawabnya.
Apa? Aku mencoba untuk lebih berkonsentrasi lagi. Aku terhenyak mendengarnya. Dengan mulut ternganga sekali lagi aku meyakinkan diriku. Tidak salah dengar nih picking cotton season.
"Maksudnya?" Tanyaku meyakinkan.
"Jadi, mulai bulan Oktober ini semua murid sekolah dan mahasiswa di negaraku akan ke ladang kapas untuk memanen kapas," Dia menatapku lagi dengan mungkin sedikit penyesalan memberitahu sesuatu yang seharusnya disimpannya sendiri, "Dan mereka selama tiga bulan tidak sekolah, pergi ke ladang kapas hanya untuk memanen kapas. Ini obligatory."
Aku mendekati zona amannya.
"Ya, benar. Setiap hari setiap orang harus mengumpulkan kapas sebanyak 15 kilogram. Setiap orang akan memanggul apron (karung dari kain) di punggungnya dan memulai semua aktivitas dari pagi sampai sore." lanjutnya karena sudah terlajur bercerita."Dan bagaimana dengan hasilnya, semua diberikan pemerintah?" tanyaku dengan sedikit tertawa pedih, membayangkan dijaman seperti ini masih ada yang bekerja seperti jaman Jepang di Indonesia.
Dia menatapku, "you know, kapas adalah komoditi utama negara kami, dan kami punya ladang kapas yang luas diseluruh negri, Dan pemerintah membutuhkan kami untuk memanennya," tampak sekali dia melawan perasaan hatinya untuk tidak merasa sedih.
Aku melunakkan kata-kataku, "Aku sungguh-sungguh tertarik dengan ceritamu, kau suka dengan keadaan itu?" tanyaku.
"Tentu saja tidak. It's awful. Anak-anak tidak sekolah dan tidak belajar sama sekali, itu kan pembodohan," sergahnya, "Kamu tahu, kalau kami tidak mencapai target 15 kilogram perhari, itu berarti we are in debt, dan orang tua kami harus membayarnya kalau kami tidak bisa."
Tangannya lincah memotong kentang.
"What?" Aku hampir memuntahkan teh dimulutku. Sekali lagi aku terpana. Negara macam apa itu. Tapi kemudian aku sadar, aku tak tahu apa-apa tentang negara mereka.
"Kemudian hasilnya dikemanakan?" aku mendesaknya kembali.
"Untuk makan kami selama di ladang kapas," Jawabnya.
"That is ridiculous," Aku gak percaya kata-kata itu keluar dari mulutku, "kamu ngumpulin kapas sebanyak 15 kilogram sehari dan hasilnya hanya untuk makan? Aku gak percaya."
Kuletakkan cangkir tehku.
Dia tampak tak mau menjawab, dibersihkannya pisau dan mulai memotong wortel. Penyesalan diwajahnya makin kelihatan karena sudah memberitahuku pekerjaan itu dan bahwa 15 kilogram kapas sama dengan 15 dollar Amerika.
Aku mencoba tidak mendebatnya. "Bagaimana dengan akomodasi kalian selama di ladang?" tanganku memutar-mutar cangkir di tanganku.
Dia memutar badanya menatapku sambil tersenyum. "You know, it was fun for me," katanya.
Aku juga ikut tersenyum miris. "Tell me, apakah semua murid dan semua orang akan ke ladang untuk memanen?" Aku makin penasaran.
"Ibuku juga masih ikut ke ladang kapas. Petani kapas gak akan mampu memanen semuanya sendiri" jawabnya sambil mulai memotong bawang kecil-kecil.Dan kembali menekuni sayur-sayuran di depannya, dia bergumam "Jika saja ibuku punya uang 18 dollar Amerika (dia selalu membandingkan dengan dollar), tentu saja aku gak perlu ikut. Sebab dengan uang sebanyak itu, aku bisa ke dokter dan membeli sertifikat tentang kesehatan tubuhku, alergi lah atau tidak mungkin untuk bekerja di ladang kapas."
"Oh," hanya itu yang terucap dari mulutku.
"Dan jika kamu tinggal di ibu kota, tentu saja kamu gak akan pergi ke ladang kapas untuk memanen. Oleh sebab itu murid-murid di ibu kota lebih pintar." terangnya lagi. Diambilnya kol dari kulkas. "Kami harus berjalan memetik kapas, kadang-kadang jaraknya jauh tapi kadang-kadang ada bus juga yang mengantar kami kesana dari tempat kami menginap, kalo menjelang musim dingin, cuaca juga dingin. Kalau makan siang tiba, nanti ada traktor yang datang dengan beberapa orang siswa membawa makanan, ya sederhana aja dan soup, roti dan falv (nasi)." Sekali lagi dia tersenyum, "kami makan di bawah pohon beramai-ramai dan bercanda sana sini. Habis makan siapa sih yang mau kerja kembali? Kadang-kadang beberapa murid akan berbaring diantara pohon-pohon kapas dan bersembunyi dari guru yang mengawasi supaya tidak di hukum." Dia tersenyum dengan kenangannya."Kamu kan guru sekarang, kalau ada muridmu seperti itu apa reaksimu?" Aku menuang teh ke cangkirku lagi.
"Well, aku guru yang tak mau menghukum, aku cuma bilang, kamu punya target setiap hari, jangan sampai kau punya hutang dan orang tuamu terbebani," jawabnya ringan namun bersungguh-sungguh.
Kutatap dia dengan gembira.
"Sejak kapan kewajiban ini kamu jalani? Sejak pisah dari USSR?" tanyaku sambil menyalakan lampu. "Long time ago, bahkan sebelum pisah dan jadi negara merdeka." jawabnya sambil mengambil vessel. Dia tertawa lagi dengan sangat gembira. Aku tertawa kecut. Kemudian dia kembali menekuni bahan-bahan sup di depannya."You know, Aku pikir aku sedang mengkhianati negaraku," tiba-tiba kesedihan dan penyesalan kembali menyergap kawanku itu. Dan dia tak tahu betapa menyesalnya karena telah menyiapkan iklan tentang negaraku dengan gambaran yang jelek sekali padahal aku tak harus memetik kapas dan meninggalkan sekolah selama tiga bulan hanya untuk menyokong perekonomian negara. Maaf Pak Taufik Ismail, mungkin untuk hal ini puisimu yang soal jati diri itu judulnya kuganti, "Aku syukur lahir dan besar di Indonesia."

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Sakinah Mawaddah Wa rahmah, Marjo's family
Daisypath Ticker