Hany n Nabiel

Wednesday, August 03, 2005

Aceh dan Kenangan Masa Kecilku


Buat Ibuku

Tsunami menyapu Aceh. Semua negara ikut berduka, semua orang ikut berbela sungkawa. Tiap bertemu denganku semua teman-temanku menyatakan keprihatinannya semua ikut khawatir dengan keadaanku, maklumlah semua tahu aku baru saja kehilangan ibu dan yang pasti mereka tahu aku dari Indonesia, walaupun mereka tidak tahu dari bagian dan belahan mana.

Petaka tsunami menghiasi hampir seluruh televisi di negara ini, tak urung Oprah Show juga menampilkan korban yang selamat di pertunjukannya. Tak selayaknya aku senang dengan keadaan ini, Aceh adalah duka bangsa, dukaku juga, karena masa kecilku lebih banyak kuhabiskan di tanah rencong ini.

Ketika umurku 4-5 tahun, aku, adikku, abangku dan ibu bapakku pernah menetap di situ.

Aku ingat pohon jeruk bali yang ada di sebelah lumbung padi di depan rumah panggung Nek Putih, demikian aku menyebut tetangga rumah kami, wanita tua dengan satu orang cucu laki-lakinya si Amin yang seumuran dengan abangku.

Pohon jeruk bali itu adalah tempat “pelarian“ku jika disuruh mandi oleh ibu. Sembari berlari dengan celana kodok dan dalam keadan “topless“, aku menuju kepohon tersebut dan memanjatnya. Di atas pohon dengan perasaan menang dari kejaran ibu, aku tertawa dengan senang menampakkan sederetan gigiku yang ompong memandang ibu yang mengacung-acungkan sapu pelepah nipah ke arahku. Beliau tampak kesal sekali karena tidak bisa menjangkauku.

Peristiwa itu tidak pernah kulupakan karena kerap kali terjadi, sampai-sampai Bapakku yang senang fotographi menjepretkan kameranya ke arahku katanya,

“Biar kamu tidak bisa mengelak kalau nanti Bapak cerita tentang kebiasaanmu manjat pohon dengan celana kodok dan topless kelak kamu besar.“

Dan benar, kenangan itu rapi tersimpan di benakku dan di album foto keluarga, fotoku dengan keadaan topless, celana kodokan, seringai gigi ompong, nangkring dengan bangga di atas pohon jeruk bali.

Rumah kami, tepatnya rumah Nek Ipah yang diperbaiki Bapak (Bapak lebih memilih tinggal di rumah dengan menyewa rumah penduduk, walaupun harus berbagi ruang dengan Nek Ipah dan Kak Ipah, daripada harus tinggal di Mess, kata Bapak tidak sehat bagi keluarga), samping kanan kirinya adalah pekuburan keluarga Nya’ Raden (aku tidak tahu kenapa keluarga ini dipanggil seperti itu), teduh sekali dengan pohon langsat dan buah pala serta semak-semak tanaman pakis. Dibelakang dan depan adalah tanah kosong berumput, kadang-kadang ada orang yang menggembalakan kerbaunya di belakang rumah kami, kerbau Aceh kata Bapak, kebanyakan orang Aceh tidak suka makan lembu itu kata Ibu. Minuman yang selalu dihidangkan setiap Idul Fitri adalah susu lembu, so kalau bertamu di rumah orang Aceh , sedikit-sedikit aja makannya, karena suguhan minumannya pasti susu lembu.

Tiap hari, aku selalu bermain dengan teman-teman sebayaku, anak-anak tetanggaku. Aku masih ingat jalan yang harus kuambil untuk main kerumah temanku, jalan itu akan penuh dengan buah pace yang membusuk, kerap aku harus berhati-hati untuk tidak menginjak buah pace yang tercecer dari pohonnya tersebut, juga untuk tidak menginjak tanah becek kalau hujan datang.

Aku sangat menikmati hari-hari bermainku, sampai-sampai harus main petak umpet dengan ibu sewaktu harus tidur siang. Aku akan pura-pura tidur siang, kulirik ibu dan adikku dan juga juga abangku, kalau mereka sudah terlelap maka dengan mengendap-endap aku ke dapur mengambil nasi dan lauk untuk di bawa ke acara “lunch“ bareng dengan teman-temanku. Tak urung Nek Ipah dan Kak Ipah memergokiku.

“Eh, tak tidur“, akupun cuma tersenyum dan berlari dengan mangkuk ditangan.

Jika acara kongkow sudah selesai, maka aku taruh saja mangkuk nasiku di samping lumbung padi di depan rumah Nek Putih, si Amin cuma memandangiku dari bawah panggung rumahnya, sambil memperbaiki pancing.

Kegiatanku dengan teman-teman adalah pergi ke kolam. Sepertinya hampir semua rumah besar atau orang kaya di Aceh mempunyai kolam untuk mandi. Aduh betapa menyenangkan bermain air dan kadang-kadang kami temukan juga udang di sela-sela bebatuan namun tak jarang lintah sudah menempel ditubuh kami. Tidak semua orang membolehkan kami untuk berenang di kolamnya. Yah, untung-untunganlah.

Kalau tidak, kami akan bermain di sekitar pohon salak Aceh, itu yang kuingat namanya, buahnya bulat dan kalau dikupas isinya seperti salak, mungkin itu buah nipah, tapi ingatan masa kecilku mengatakan itu salak Aceh. Yang lebih asyik kalau ada pesta, Ibuku pasti ikut membantu, aku paling suka ikut Ibu, soalnya kalau mereka lagi membuat kue sapit, yang gosong-gosong akan di bagikan ke anak-anak, wuihhh enak.

Acara menumbuk padi juga paling asyik, karena bukan hanya memakai alu biasa tapi juga memakai alu horizontal dari batang yang besar yang dihubungkan dengan pengait atau apalah aku tak ingat, yang bisa kunaiki sambil menumbuk padi. Jadi seperti main kuda-kudaan tapi ini lebih asyik, karena ada hasilnya, yaitu padinya jadi beras.

Bapak juga hobi berekreasi. Bersama teman-teman sekoleganya, beliau membawa seluruh keluarga ketempat-tempat rekreasi. Aku paling suka ke laut. Soalnya bisa main pasir dan cari kepiting kecil. Lucu sekali kepiting-kepiting itu lari kesana kemari mencoba menyelamatkan diri dari tangan-tangan jahil kami kearah lubang-lubang persembunyiannya. Jepretan kamera Bapak sungguh membuat masa kecilku di Aceh sangat membekas.

Tiap sore, dengan baju yang kembaran dengan adikku, kami menunggu Bapak pulang kantor sambil jalan di batu-batu yang mengonggok untuk pelaksanaan proyek jalan. Kata Bapak, kantor Bapak lagi punya proyek membangun jalan di Aceh.

Kalau aku begitu nakalnya, maka abang dan adikku adalah anak-anak penurut. Pernah, satu kali abangku pulang dengan lesu dari sekolahnya, ketika itu dia kelas satu.

“Abang kenapa?” Ibu dengan khawatir bertanya.
“Abang ga apa-apa, cuma ini nih, abang ponten sepuluh lagi,” katanya dengan lesu.

Seketika wajah ibu berubah, besok-besoknya abang sudah tidak tinggal bersama kami lagi, dia dikembalikan ke Medan, tinggal bersama Kakak dan Abang-abangku yang lain.
Baru aku tahu bahwa , abangku selalu unggul di kelas, dan kata Ibu itu bukanlah pertanda baik, karena Ibu takut persaingan memang tidak ada di kelasnya abang. Benar saja, prestasi abang biasa-biasa saja ketika kembali ke kota asal kami.

Dedek kecil adikku maunya selalu mengikutiku, tapi Ibu tidak pernah mengijinkan, maklumlah dia baru 2-3 tahun. Permainanku yang lasak, mbulusuk kesana kemari, manjat pohon ini itu, sudah cukup membuat ibu was-was untuk melepaskan si bungsu bermain bersamaku. Jadinya dia cuma main sendiri di bawah pohon mangga, atau di dalam rumah-rumahan yang dibuat Bapak untuk kami bermain.

Pernah suatu hari, Bapak pulang dengan becak-becakan buat kami berdua, aku beradu amarah dengan Ibu supaya bisa bermain di luar. Ibu bilang tidak, karena becak-becakan itu baru dan nanti rumah kotor. Jadilah aku seharian ngambek tidak mau makan dan duduk diluar sambil manyun menunggu Bapak pulang, sementara Dedek kecil mendayung becak-becakan itu sendiri, kyut, kyut, kyut kesana kemari.

Ah, kenangan Aceh dan Ibuku di memori masa kecilku membuatku tersentak, aku sangat sedih kehilangan dua hal tersebut. Dua hal yang menghiasi masa kecilku hingga sekarang. Aku memang sudah kehilangan Ibu, dan aku tak akan sanggup kehilangan Aceh, sebab, Aceh adalah bagian hidupku.

In Memoriam,
Ibu dan Aceh
January 18, 2005

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Sakinah Mawaddah Wa rahmah, Marjo's family
Daisypath Ticker