Hany n Nabiel

Saturday, February 16, 2008

Balada Jawa Medan


Cerita ini terinspirasi oleh pengalaman pribadi, nama dan hal2 yang mungkin sama, hanyalah kebetulan saza. Silaken....


Entah kapan aku mulai tahu kalau aku bersuku Jawa. Mungkin sejak mengisi kolom di formulir SD, yang ada pertanyaan : Suku :_____. Nah, kata ibuku jawabannya Jawa.
Jadi, sejak saat itu aku tahu kalau ditanya suku, maka jawabannya Jawa. Akupun bangga dengan kejawaanku ini. Tapi sebenarnya namakupun sudah menunjukkan kejawaannya. Sri Ratih Berseriwengi. Tapi karena tinggal di Medan, maka belum tentu nama Jawa sukunya juga Jawa, karena temenku yang orang Batak Karopun bernama Sri Ulina Ginting, yang orang Padang juga namanya, Sri Indah Mewangi, yang orang Melayupun namanya Sri Mersingmengibing. Jadi supaya lebih jelas, biasanya kalau berkenalan, pasti ada pertanyaan yang seperti ini,
“Maaf dek, kalau boleh tau, boru
[1]apa?” Maksudnya si penanya hanya ingin memastikan kalau yang ditanya suku Batak atau bukan.
Jadi, kalau aku yang ditanya maka jawabannya,
“Boru Jawa, Bang
[2].” Maksudnya, aku orang Jawa loh Mas.

Sebagai orang Jawa, akupun mulai belajar tentang apa itu Jawa. Kata Ibuku, orang Jawa itu tutur katanya halus dan sopan, jadi kalau aku sudah mulai teriak-teriak mulailah Ibuku menggurui.
“Orang Jawa itu kalau ngomong tidak teriak-teriak, yang lembut gitu loh, yang priyayi
[3], Nduk[4],”
Nah, satu lagi, sebutan Nduk inipun biasanya jadi ledekan kakak-kakak lelakiku yang kupanggil “Abang”. Nduk bagi mereka adalah kependekan dari “tanduk”, Jadi kalau Ibu sudah memanggilku “Nduk”, maka abangku akan menyambung dengan,
“Nah, tanduk dengerin tuh Ibu, yang priyayi,”katanya sambil mengatupkan tangan dan bergaya seperti penari Serimpi.

Entah kapan juga, aku mengerti kata priyayi ini, yang pasti dalam benakku, priyayi berarti lembut dan sopan. Tapi setelah membaca Novelnya Umar Kayam, Para Priyayi, barulah aku tahu makna sebenarnya kata priyayi itu, maka akupun tergelak-gelak. Apalagi ketika mengambil mata kuliah Manusia dan Kebudayaan Indonesia, khususnya suku Jawa, maka akupun tertawa berguling-guling menertawakan diriku yang pada hakekatnya adalah Jawa abangan
[5], jauhhhh dari para priyayi-priyayi itu.
Tapi lambat laun kusadari, bahwa makna priyayi yang diingini Ibuku sebenarnya adalah makna pertama yang kupahami ketika masih kanak-kanak, lembut dan sopan.

Ketika kecil, yang kutahu, Bapak sangat senang dengan wayang. Apalagi ketika ada acara wayang di TV semalam suntuk, maka dapat dipastikan Bapak akan duduk manis di depan TV ditemani segentong kopi, syukurlah tanpa rokok. Dan di tengah malamnya, akupun akan mulai mendengar suara gamelan yang berbunyi teng nang teng nong, teng nang teng nong keracakkkcakkk cakkk, kata Bapak wayang itu isinya sarat dengan makna, apalagi kalau dalangnya Ki Manteb, wah pokoknya makin mantaplah.
Pernah aku bertanya pada Bapak.
“Kok, Bapak mengerti sih, apa yang diomongi Ki dalang itu,”
“Ya, karena Bapak paham bahasa Kromo
[6],”
“Kromo? Bahasa apa tuh Pak,”
“Ya Kromo itu bahasa Jawa yang paling halus,”
“Lah, kalau Bapak dan Ibu bicara itu bahasa apa?”
“Ooo, itu bahasa Jawa Ngoko
[7], bahasa pasaran.”
“Wah itu juga saya cuma ngerti aja, ga bisa ngomongnya, gimana mau ngerti bahasa Kromonya.”
“Ya, itulah makanya sebagai orang Jawa kamu harus belajar.”
Dan akupun tak pernah belajar untuk berbicara dalam bahasa Jawa, soalnya Bapak dan Ibukupun tak pernah mengajak kami untuk berbicara bahasa Jawa, kami hanya mendengarkan Bapak Ibu saja yang berbicara bahasa Jawa, semua komunikasi antara Bapak dan kami juga Ibu dan kami hanya dalam bahasa Indonesia dengan logat Median yang kental.

Dan ketika aku harus pergi merantau ke Jakarta dan bekerja di sebuah perusahaan, maka ketika aku memperkenalkan diri dan asalku, banyak orang yang menduga kalau aku bersuku Batak.
“Ooo dari Medan, orang Batak yah, horas bah,”
Hehehe, aku tertawa dalam hati, memangnya hanya orang Batak yang ada di Medan, dalam hatiku.
“Bukan, saya orang Jawa,”balasku dengan senyum.
“Loh bukannya dari Medan, kok Jawa sih, emangnya Jawa mana?”
Spontan saja, aku menyahut,
“Kayaknya Jawa Tengah deh,”
“Tengah mana? Maksudku Jawanya dari mana? Yogya, Semarang, Surabaya?
Dan akupun semakin bingung, dengan menunduk akupun menjawab dengan logat Medanku.
“Ya, Jawa Medanlah
[8],”
Maka meledaklah tawa satu ruangan rapat hari itu.
“Mbak, eh Kak, kalau Jawa Medan, ngomongnya campur Batak ya.” Kelakar sejawatku.

Maka, setiap ada dua orang Jawa saling berkomunikasi dalam bahasa Jawa, akupun terdiam, tak sanggup untuk ikut nimbrung walaupun mengerti, dan merekapun tak memberikan aku ruang untuk nimbrung.

“Mbak, ada tugas nih ke Medan, situ ikutan yah,” tawar sejawatku yang asli dari Klaten.
Tentu saja dengan bahagia aku mengiyakannya, apalagi akan ada 3 orang lagi yang ikut ke Medan, dan mereka semuanya suku Jawa. Wah, betapa bahagianya Bapakku kalau kuperkenalkan dengan mereka. Pasti Bapakku akan bangga bisa berkomunikasi dalam bahasa Jawa dengan orang asli dari Jawa. Tunggulah Pak, kejutan dari putrimu ini.
Dan hari itupun tiba, setelah selesai bertugas, teman-teman sejawatku ini kuundang ke rumah. Dengan bangga aku bercerita ke teman-temanku kalau Bapakku bisa bahasa Jawa, bahkan yang Kromo juga bisa.
“Jadi kalian percaya bahwa aku memang orang Jawa,”kataku dengan semangat.
Tibalah kami dirumah,
“Pak ini teman-teman Sri.” Kukenalkan satu persatu nama dan berasal mana mereka di Jawa. Dan akupun menuggu Bapak mengeluarkan Bahasa Jawanya.
Menunggu.
Menunggu.
Menunggu.
Menunggu.
Dan terus menunggu.
Sampai teman-temanku pamitan, tak satupun bahasa Jawa yang keluar dari mulut Bapakku. Semua percakapan hanya dengan bahasa Indonesia.
Akupun mendekatinya dan setengah berbisik.
“Pak, kok ga pake bahasa Jawa?”tanyaku kesal.
Dengan sedikit malu, Bapakku menjawab.
“Hehehehe, Bapak malu Nak, temen-temenmu asli orang Jawa, Bapakkan cuma Jawa Medan, jadi gak PD.”
Gubrakkkkkkk, Oalah Pak, Pak, dasar orang Jawa Medan.
Sejak saat itu, Bapak dan Ibu pun ga pernah menyebutkku “Nduk” lagi, ganti jadi “Nak”.
Kenapa? Gak PD kali yeeeeeeeeeeeeeeeee.

Footnote
[1] Boru=marga (biasanya ditanyakan untuk perempuan)
[2] Bang, Abang=panggilan untuk kakak lelaki
[3] Priyayi=bangsawan Jawa
[4] Nduk, Genduk=panggilan sayang untuk anak perempuan
[5] Abangan=kelas terendah dalam masyarakat Jawa
[6] Kromo=Tingkatan bahasa Jawa yang paling tinggi dan masih terbagi lagi
[7] Ngoko=Tingkatan bahasa Jawa yang terendah
[8] Lah=dong, deh, sih=penekanan kata
Pic was taken from here

Labels:

1 Comments:

Blogger mochie said...

Halo HanyNabiel, mo main sm 3jagoan...Yuuukkkk!!...Tapi kalo dijailin sama Naufal jg marah yah...Hehe

Silakan dilink!!

10:18 PM  

Post a Comment

<< Home

Sakinah Mawaddah Wa rahmah, Marjo's family
Daisypath Ticker