Mesjid Tukang Becak
Waktu Bapak saya mengunjungi kami, sempat kami ajak ke mesjid Al Hikmah untuk sholat Jum’at. Komentar Bapak,” Wah, besar dan bagus juga mesjid ini ya, gimana kok bisa punya mesjid sebesar ini di Amerika lagi.”
Pada saat itu (sebenarnya saat ini juga) saya tak bisa menerangkannya, wong saya tidak “bergaul” dengan mesjid Al Hikmah.
Kemudian Bapak pun berkisah tentang mesjid di kampung kami.
“Itu mesjid, mesjid nya tukang becak,”
Aku pun mengangguk, tau dari dulu bagaimana dengan semangatnya Bapak bercerita tetntang pembangunan mesjid itu.
“Anggotanya kebanyakan cuma penarik becak sama kerja botot (loak).”
“Setiap Magrib, akan ada beberapa becak mangkal disitu, setelah sholat biasanya kami saling bercerita tentang memindahkan mesjid ke lahan sebelah yang lebih besar.”
“Setiap ngobrol dan berencana, tak pernah terbersit untuk patah semangat karena pertanyaan ‘dananya dari mana Pak’?”
Saya mengangguk lagi, karena saya tahu siapa yang tinggal di sekitar mesjid itu, “wong cilik” begitulah katanya, tapi ini termasuk mungkin yang puaaaling “cilik”, tukang becak, tukang botot dan pegawai kecil. Asli tidak ada ulamanya. Imam yang paling sering mengimami jemaah hanyalah seorang penarik becak bertopi koboi, kami memanggilnya ‘Wak Kardi’, yang hafal Al Qur’annya patut di acungi zempol, atau kadang-kadang tukang bersih-bersih mesjid yang sekaligus berprofesi sebagai tukang bototlah yang jadi imamnya, tapi bacaannya itu wangiiiiiii ibarat minyak kesturi.
“Apakah kami kemudian berputus asa? Apakah kami mengharap bantuan dari daerah? Atau pemerintah? Atau Presiden? Rasanya tak sanggup kami menghadapi birokrasi dari keplor (kepala lorong), sampai kepala Istana (kalau minta ke Presiden). Sampai-sampai, uangnya juga cuma bisa beli asbes 10 biji.”
“Atau apakah kami seperti mesjid-mesjid yang ada di pinggir-pinggir jalan besar di daerah luar kota yang menyetop pengguna jalan mulai dari kereta (sepeda motor), sampai bus besar dan menengadahkan ember-ember nya?” Rasanya gak bisa, nurani kami tidak mengisyaratkan seperti itu.”
“Atau kenapa ga dari rumah ke rumah aja Pak, di kota lain misalnya, sambil bawa tanda terima dan proposal?” kataku menggoda.
“Ah, ibu-ibu kami lebih suka ngurus anak dan suami daripada dapat persenan karena sudah “ngider”.” Katanya tertawa.
“Kemudian,” tanyaku lagi.
“Kami percaya dan yakin infaq dari anggota akan sangat membantu, yang penting caranya.”
“Ya kau kan tahu sendiri, kalau dalam acara-acara perayaan besar atau pengajian-pengajian rutin kami mengadakan Gerakan Amal Sholeh, salah satu anggota jadi pemandu untuk memancing para anggota atau hadirin yang datang untuk memberikan infaqnya. Cara ini terbukti efektif loh”
Aku pun terkenang, biasanya ada seorang yang pintar ngomong sambil sedikit melucu, memandu acara ini.
“Ayo pak, mesjid kita butuh jendela baru, kira-kira biaya 2 juta rupiah, dari kotak yang beredar hari ini, terkumpul seratus ribu rupiah, masih kurang satu juta sembilan ratus lagi nih, ayo Bu, Pak, lempar lah recehan yang kira-kira “gak laku” hehehehe…” Maka mulailah lemparan uang-uang berhamburan dan dua orang penadah sudah siap dengan kain panjang menangkap uang dari para jemaah.
“Sudah di hitung, masih tigaratus tiga puluh rupiah, kurang satu juta enam ratus tujuh puluh ribu lagi nih, ayo Pak karena waktu sholat hampir tiba kita genapkan lima ratus, kalau ga ada uang silahkan berikrar, nanti panitia ngasih kertasnya, ayo pak ayo pak, ayo bu ayo bu, kakak adek, teteh marilah kita menabah terus amal kita (sambil menirukan pariwara di TV).”
Sampai akhirnya terkumpul 700 ribu rupiah lebih, maka gerakan amal sholeh ini pun di tutup. Begitu terus setiap ada waktu dan kesempatan dan alhamdulillah selalu ada saja uang yang terkumpul dari anggota “wong cilik” ini.
“Akhirnya mesjid itu sudah lumayan besar dan sudah ada di lokasi baru, madrasah yang dulunya nempel di mesjid pun kini sudah punya bangunan sendiri, dan tidak nempel di mesjid, sudah layak kalau dibuat sekolah juga.”
“Yah begitulah kerja keras kami dulu, kami hanya punya prinsip untuk menghidupkan mesjid dan bukan cari hidup di mesjid itu.”
“Setujuhhhh Pak,” kataku sambil tertawa.
“Eh by the way, dulu kan Bapak pernah jadi pengurus mesjid yah, kira-kira ketika ga jadi pengurus lagi, apakah Bapak terkena ‘Post Power Syndronme’?” godaku lebih lanjut sambil cekikikan.
“Hehehehe, yah namanya orang tua, selalau saja merasa benar, karena merasa sudah makan asam garam dan merasa sudah begitu berjasa, tentu saja saya pernah sakit hati sama pengurus yang lebih muda, pada saat ide saya di tentang dan tidak dipakai, saya merasa ‘dibuang’, eh coba kau perbaiki kata-kata Post Power Syndrome, kau kira Bapakmu ini gila kuasa, gila hormat?” katanya sambil tersenyum.
“Ah gak Pak, itu hanya istilah yang melintas di otak kecil anakmu ini, maaf ya Pak,” kataku manja.
“Terus Pak?”
“Bapak sempat boikot tidak ke mesjid kita itu, Bapak pergi ke mesjid lain, walaupun harus berongkos.” Katanya sambil tangannya sibuk berpegangan pada tangga subway.
“Oooo saya ingat waktu Bapak pergi ke msejid lain itu, kita kan bertanya-tanya, wah kenapa nih, ooo rupanya ngambek toh sama mesjid,” Aku pun tertawa sambil mengelus tangan Bapak.
“Hushhh gundulmu, itu namanya protes plus boikot, hampir semua pengurus lama seperti itu.”
“Kemudian kok Bapak balik lagi ke mesjid itu sampai sekarang, malah sibuk juga ngurus ini itu?” lanjutku.
“Yah, beginilah ya Nak, mesjid itu adalah tempat bergaul yang paling nyaman buat ibumu, kau dan saudara-saudaramu dan juga aku, rasanya hati ini tidak tega untuk mengajak-ajak ibumu dan saudara-saudaramu untuk bertindak seperti aku, sementara di situlah teman-temen ibumu dan kau berkumpul, jadi, apa karena sakit hati sesaat seperti ini, merusak semua amal ibadah yang sudah kubangun?”
“Lagipula,..” lanjutnya
“Pengurus muda itu datang ke rumah,” katanya lagi.
Sambil menunggu Train Q, aku nyeletuk, “Pasti mo minta maaf ya Pak,”
“Oh ga, …”
“So, ngapain Pak,”lanjutku ga sabar.
“Mau minta sumbangan, mesjid mau di kasih lantai marmer,” Katanya sendu.
“Ooo begitu,”
“Ya, pada saat itulah aku merasa, inilah waktunya untuk kembali ke mesjid, walaupun dia cuma minta sumbangan, aku merasa, aku masih dibutuhkan, “
“Jadi begitu ya pak, ada kesadaran dan ada ‘timing’nya . Wah, kebetulan sekali, untung pengurus muda itu datang minta bantuan ya Pak, kalau ga kan, Bapak pasti ga akan ke mesjid kita itu seumur hidup, ya Pak ya….hehehehe, boleh juga si Bapak milih waktunya,” godaku lagi.
“Hehehehehe, ya gak begitulah,” sambutnya.
Sampai sekarang alhamdulillah Bapak masih sibuk ikut membantu pengurus mesjid untuk urusan sumbangan, termasuk untuk “menembak” kami.
“Nak, Bapak mengikrarkan kalian untuk infaq seratus ribu rupiah, kirim yah,”
“Hehehehe Bapak, bertindak sendiri itu namanya, tapi ga pa pa lah, besok yah kita kirim,” Terbayang di otakku, beberapa lembar dua puluhan dollar masih ada di dompet, pemberian suami, hasil dari mengecat rumah orang itali kemarin.
Pada saat itu (sebenarnya saat ini juga) saya tak bisa menerangkannya, wong saya tidak “bergaul” dengan mesjid Al Hikmah.
Kemudian Bapak pun berkisah tentang mesjid di kampung kami.
“Itu mesjid, mesjid nya tukang becak,”
Aku pun mengangguk, tau dari dulu bagaimana dengan semangatnya Bapak bercerita tetntang pembangunan mesjid itu.
“Anggotanya kebanyakan cuma penarik becak sama kerja botot (loak).”
“Setiap Magrib, akan ada beberapa becak mangkal disitu, setelah sholat biasanya kami saling bercerita tentang memindahkan mesjid ke lahan sebelah yang lebih besar.”
“Setiap ngobrol dan berencana, tak pernah terbersit untuk patah semangat karena pertanyaan ‘dananya dari mana Pak’?”
Saya mengangguk lagi, karena saya tahu siapa yang tinggal di sekitar mesjid itu, “wong cilik” begitulah katanya, tapi ini termasuk mungkin yang puaaaling “cilik”, tukang becak, tukang botot dan pegawai kecil. Asli tidak ada ulamanya. Imam yang paling sering mengimami jemaah hanyalah seorang penarik becak bertopi koboi, kami memanggilnya ‘Wak Kardi’, yang hafal Al Qur’annya patut di acungi zempol, atau kadang-kadang tukang bersih-bersih mesjid yang sekaligus berprofesi sebagai tukang bototlah yang jadi imamnya, tapi bacaannya itu wangiiiiiii ibarat minyak kesturi.
“Apakah kami kemudian berputus asa? Apakah kami mengharap bantuan dari daerah? Atau pemerintah? Atau Presiden? Rasanya tak sanggup kami menghadapi birokrasi dari keplor (kepala lorong), sampai kepala Istana (kalau minta ke Presiden). Sampai-sampai, uangnya juga cuma bisa beli asbes 10 biji.”
“Atau apakah kami seperti mesjid-mesjid yang ada di pinggir-pinggir jalan besar di daerah luar kota yang menyetop pengguna jalan mulai dari kereta (sepeda motor), sampai bus besar dan menengadahkan ember-ember nya?” Rasanya gak bisa, nurani kami tidak mengisyaratkan seperti itu.”
“Atau kenapa ga dari rumah ke rumah aja Pak, di kota lain misalnya, sambil bawa tanda terima dan proposal?” kataku menggoda.
“Ah, ibu-ibu kami lebih suka ngurus anak dan suami daripada dapat persenan karena sudah “ngider”.” Katanya tertawa.
“Kemudian,” tanyaku lagi.
“Kami percaya dan yakin infaq dari anggota akan sangat membantu, yang penting caranya.”
“Ya kau kan tahu sendiri, kalau dalam acara-acara perayaan besar atau pengajian-pengajian rutin kami mengadakan Gerakan Amal Sholeh, salah satu anggota jadi pemandu untuk memancing para anggota atau hadirin yang datang untuk memberikan infaqnya. Cara ini terbukti efektif loh”
Aku pun terkenang, biasanya ada seorang yang pintar ngomong sambil sedikit melucu, memandu acara ini.
“Ayo pak, mesjid kita butuh jendela baru, kira-kira biaya 2 juta rupiah, dari kotak yang beredar hari ini, terkumpul seratus ribu rupiah, masih kurang satu juta sembilan ratus lagi nih, ayo Bu, Pak, lempar lah recehan yang kira-kira “gak laku” hehehehe…” Maka mulailah lemparan uang-uang berhamburan dan dua orang penadah sudah siap dengan kain panjang menangkap uang dari para jemaah.
“Sudah di hitung, masih tigaratus tiga puluh rupiah, kurang satu juta enam ratus tujuh puluh ribu lagi nih, ayo Pak karena waktu sholat hampir tiba kita genapkan lima ratus, kalau ga ada uang silahkan berikrar, nanti panitia ngasih kertasnya, ayo pak ayo pak, ayo bu ayo bu, kakak adek, teteh marilah kita menabah terus amal kita (sambil menirukan pariwara di TV).”
Sampai akhirnya terkumpul 700 ribu rupiah lebih, maka gerakan amal sholeh ini pun di tutup. Begitu terus setiap ada waktu dan kesempatan dan alhamdulillah selalu ada saja uang yang terkumpul dari anggota “wong cilik” ini.
“Akhirnya mesjid itu sudah lumayan besar dan sudah ada di lokasi baru, madrasah yang dulunya nempel di mesjid pun kini sudah punya bangunan sendiri, dan tidak nempel di mesjid, sudah layak kalau dibuat sekolah juga.”
“Yah begitulah kerja keras kami dulu, kami hanya punya prinsip untuk menghidupkan mesjid dan bukan cari hidup di mesjid itu.”
“Setujuhhhh Pak,” kataku sambil tertawa.
“Eh by the way, dulu kan Bapak pernah jadi pengurus mesjid yah, kira-kira ketika ga jadi pengurus lagi, apakah Bapak terkena ‘Post Power Syndronme’?” godaku lebih lanjut sambil cekikikan.
“Hehehehe, yah namanya orang tua, selalau saja merasa benar, karena merasa sudah makan asam garam dan merasa sudah begitu berjasa, tentu saja saya pernah sakit hati sama pengurus yang lebih muda, pada saat ide saya di tentang dan tidak dipakai, saya merasa ‘dibuang’, eh coba kau perbaiki kata-kata Post Power Syndrome, kau kira Bapakmu ini gila kuasa, gila hormat?” katanya sambil tersenyum.
“Ah gak Pak, itu hanya istilah yang melintas di otak kecil anakmu ini, maaf ya Pak,” kataku manja.
“Terus Pak?”
“Bapak sempat boikot tidak ke mesjid kita itu, Bapak pergi ke mesjid lain, walaupun harus berongkos.” Katanya sambil tangannya sibuk berpegangan pada tangga subway.
“Oooo saya ingat waktu Bapak pergi ke msejid lain itu, kita kan bertanya-tanya, wah kenapa nih, ooo rupanya ngambek toh sama mesjid,” Aku pun tertawa sambil mengelus tangan Bapak.
“Hushhh gundulmu, itu namanya protes plus boikot, hampir semua pengurus lama seperti itu.”
“Kemudian kok Bapak balik lagi ke mesjid itu sampai sekarang, malah sibuk juga ngurus ini itu?” lanjutku.
“Yah, beginilah ya Nak, mesjid itu adalah tempat bergaul yang paling nyaman buat ibumu, kau dan saudara-saudaramu dan juga aku, rasanya hati ini tidak tega untuk mengajak-ajak ibumu dan saudara-saudaramu untuk bertindak seperti aku, sementara di situlah teman-temen ibumu dan kau berkumpul, jadi, apa karena sakit hati sesaat seperti ini, merusak semua amal ibadah yang sudah kubangun?”
“Lagipula,..” lanjutnya
“Pengurus muda itu datang ke rumah,” katanya lagi.
Sambil menunggu Train Q, aku nyeletuk, “Pasti mo minta maaf ya Pak,”
“Oh ga, …”
“So, ngapain Pak,”lanjutku ga sabar.
“Mau minta sumbangan, mesjid mau di kasih lantai marmer,” Katanya sendu.
“Ooo begitu,”
“Ya, pada saat itulah aku merasa, inilah waktunya untuk kembali ke mesjid, walaupun dia cuma minta sumbangan, aku merasa, aku masih dibutuhkan, “
“Jadi begitu ya pak, ada kesadaran dan ada ‘timing’nya . Wah, kebetulan sekali, untung pengurus muda itu datang minta bantuan ya Pak, kalau ga kan, Bapak pasti ga akan ke mesjid kita itu seumur hidup, ya Pak ya….hehehehe, boleh juga si Bapak milih waktunya,” godaku lagi.
“Hehehehehe, ya gak begitulah,” sambutnya.
Sampai sekarang alhamdulillah Bapak masih sibuk ikut membantu pengurus mesjid untuk urusan sumbangan, termasuk untuk “menembak” kami.
“Nak, Bapak mengikrarkan kalian untuk infaq seratus ribu rupiah, kirim yah,”
“Hehehehe Bapak, bertindak sendiri itu namanya, tapi ga pa pa lah, besok yah kita kirim,” Terbayang di otakku, beberapa lembar dua puluhan dollar masih ada di dompet, pemberian suami, hasil dari mengecat rumah orang itali kemarin.
Labels: cerita
0 Comments:
Post a Comment
<< Home