Hany n Nabiel

Tuesday, October 30, 2007

Antara saya dan kesederhanaan

Ini tulisan lawas yang tertinggal di box draft tertanggal 28 Maret 2007, gak nyangka bagus juga rupanya (tuiiiingggggg, sepatu mampir di jidat), enjoyy deh .....


Dulu, ketika saya masih berstatus mahasiswa, dua orang profesor saya pernah mengkritik saya. Setiap mereka sedikit memuji, maka saya pun langsung mengelak. Elakan saya ini dianggap hal yang kurang pantas. Seperti," I don't know if you are so creative,", maka dengan gaya Indonesia yang menjunjung semangat rendah hati, saya akan menjawab,"that's just OK, I am not that creative, it just happened once a while."Alih-alih dapat simpati, malah sang profesor memberikan satu sodokan kuat di dada,"try to learn to say thank you, anytime somebody say something nice to you." Huihhh...saya malu. Saya pikir saya akan mendapat kredit, tapi malah dada semakin sempit.

Kesederhanaan saya tampak jelas dimata teman-teman internasional. Mereka sering bertanya kok saya bisa sesederhana itu? Menempatkan diri lebih rendah dari orang lain? " You look so modest", begitu ungkapan seseorang teman kepada saya. Apakah saya bangga? ya, saya manusia biasa, jadilah saya berbangga. Tapi, ada ocassion lain yang membuat keserhanaan saya, tampak sebagai sebuah 'desperateness', 'hopeless' and ''stupidity'. Seperti misalnya, ketika saya tidak menunjukkan identitas saya yang sebenarnya, ya misalnya, tidak menunjukkan ke orang lain kalau saya itu mantan student yang berpredikat S2, maka dengan konteks "judge the book from its cover", mereka akan melihat saya sebagai orang yang tak pernah menyandang gelar itu. Sombongkah saya dengan menyebutkan contoh di atas? Ah tidak, inilah yang memang selalu terjadi. Ketika saya tidak mempresentasikan apapun dalam diri saya kalau saya punya gelar itu, maka tak salah ketika orang menilai saya dengan kulit luar saja. Gaya bicara saya yang tidak intelek, cara berpakaian yang seperti ibu rumah tangga kebanyakan, tak pernah terlihat curious dengan hal-hal baru, tak pernah terlihat membaca sesuatu, kebanyakan diam di sudut kalau ada diskusi atau obrolan ringan ibu-ibu, kebanyakan cuma mendengar saja tanpa ada komen apapun, dan yang malah lebih ekstrim, blog saya ini pun tak kalah 'sederhanya'. Tak banyak yang bisa saya suguhkan atau ceritakan di blog saya ini, kecuali beberapa potong kalimat yang saya anggap sudah cukup, padahal orang lebih suka (atau saya pribadi) membaca blog yang sarat informasi dan cerita, tentang hal apapun.

Nah, apa sih latar belakang kesederhanaan saya ini? Tak lain, karena rasa takut saya akan kesombongan. Saya jelaskan ke kedua profesor saya tadi, bahwa saya indeed adalah seorang yang sombong. Saya coba tekan rasa itu dengan berprilaku 'aneh' seperti ini. Padahal, tak jarang saya mendapat nasehat tentang rasa bangga,"You need it". "tak harus selalu kelihatan sombong ketika kamu dipuji orang", begitulah katanya. "ucapkan MasyaAllah, kembalikan semuanya kepada Allah," begitulah nasehatnya. Dan yang lebih dasyat,"belajarlah menghagai dirimu sendiri,". Nah...saya semakin dilematis. Ketika saya berusaha untuk 'menonjol', saya merasa diri saya egois sekali. So, muncul lagi satu perasaan bersalah saya. Apalagi ketika orang lain memberikan reaksi atas 'penonjolan' saya ini dengan membuang muka, wah saya semakin 'tenggelam' saja dengan rasa bersalah.

Tapi, banyak hal baik yang saya dapatkan dengan kesederhanaan ini, yang paling utama adalah rasa damai yang selalu saja tumbuh setiap saya tampil sederhana. Baik dalam perbuatan dan ucapan. Terucap maupun tak terucap. Terima kasih kesederhanaan.

Labels:

1 Comments:

Blogger maisara said...

Assalamu'alaikum

Mbak Vita..aku justru suka dg kesederhanaan....dan orang yg nggak suka unjuk gigi tidak pada tempatnya. ceritanya hampir sama dg salah satu sifatku : nggak suka nyelah orang ngomong.

Lebih suka merendah hati,tapi nggak mau direndahkan lho...jangan jadi Tong kosong berbunyi nyaring. mending seperti ilmu padi..tul gak...

7:30 AM  

Post a Comment

<< Home

Sakinah Mawaddah Wa rahmah, Marjo's family
Daisypath Ticker